Langsung ke konten utama

Curhat Mengenai Film La La Land

Sedikit Curhatan gw tentang film La La Land ini tidak terasa zaman emang berubah ya. Sampai pada pertengahan abad ke-20, kayak sebagian film Hollywood formatnya musikal maksudnya bagian-bagian ceritanya dituturkan dengan musik dan nyanyian, tidak sama dengan film biasa yang ada adegan orang nyanyi ya. Namun, menjelang abad 21 film musikal Hollywood makin jarang aja, baik jarang yang bikin, jarang yang bagus, maupun jarang yang laku. Di zaman sekarang yang penontonnya gampang komplain dan kemasan musikal sendiri bukan lagi favorit publik kecuali kalau animasi, bikin film musikal live action itu emang nggak boleh setengah-setengah, butuh keterampilan dan kecintaan yang khusus, bukan sekadar pengen bikin cerita yang banyak lagunya karena it sounds cute.

Gw termasuk penyuka film musikal tetapi gw sadar film musikal zaman milenium ini nggak semuanya created equal, yang bagus akan langsung jadi favorit gw (Moulin Rouge, Chicago, Les Miserables), sementara yang nanggung akan bye bye (Burlesque, Annie 2014). Namun, La La Land termasuk cepat bikin gw percaya meski sebelum nonton, karena satu nama, Damien Chazelle, yang sebelumnya sukses memukau dan memesona gw lewat film tentang drummer jazz, Whiplash yang keren dan exciting banget itu. Minimal, gw mengharapkan akan mendapat excitement yang sama. Eh ternyata, film ini justru memberi lebih.

Gw hampir nggak tahu harus mulai dari mana dalam mengomentari film ini, karena terlalu banyak hal yang bikin film ini begitu captivating dan menjadikannya biar gw langsung saja bilang salah satu film musikal modern terbaik yang pernah gw tonton. Mungkin gw mulai dari kemasan audio visualnya kali ya. Terlihat sekali bahwa film ini lahir dari perpaduan kecintaan akan musikal Hollywood zaman dulu dengan latar masa kini. Penyajiannya juga semacam penghormatan yang klasik-klasik, yang paling kentara adalah penggunaan film seluloid dan rasio Cinemascope buat gambarnya. Yang bikin gw nggak habis pikir adalah gimana cara orang-orang ini mengolah ambience klasik itu tetap relevan dengan hal-hal kekinian. L.A. yang bayangan gw adalah kota modern dan mungkin "kering" agak bener sih terlihat dari pembagian waktu empat musim di filmnya tapi iklim di L.A. ternyata sama aja sepanjang tahun, disulap menjadi penuh warna dan dreamy tanpa terlihat salah tempat. Because, again, L.A. di sini adalah tempat berkumpulnya para pemimpi.

Dalam benak gw muncul sebuah kesimpulan tentang La La Land yang menurut gw cukup menggambarkan bahwa ini bukan film musikal rata-rata. Film ini bukan cuma cerita yang dituturkan lewat musik, tetapi seluruh film ini adalah musik. Bagaikan musik yang semua instrumen punya fungsi dan notasi masing-masing yang menciptakan harmoni, film ini benar-benar menunjukkan sebuah persembahan yang kompak dari semua departemen. Dan, dengan segala dinamikanya, film ini selalu berhasil memunculkan rasa yang tepat di tiap bagiannya, membuat perhatian dan emosi gw terlarut dan dibawa ke tempat-tempat yang seharusnya, tetapi nggak dengan cara-cara obvious satu contoh: gimana caranya sebuah adegan konser yang riuh dan lagu yang enak justru memunculkan rasa gelisah hanya dari pengetahuan kita tentang karakter-karakter ini sebelum adegan tersebut.

Memadukan gaya lama dan baru, menyandingkan mimpi dan realita, juga sedih dan bahagia, bahkan sempat juga menyelipkan sindiran tentang industri hiburan di sana, La La Land bikin gw yang nonton jadi merasa senang bukan hanya karena gw menyukai format musikal, atau hanya cerita atau teknis atau musiknya yang bagus, tetapi karena segala sisinya memang luar biasa sebagai sebuah karya film. Gila banget ini film Menurut gw La La Land adalah salah satu film masterpiece terbaik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Bioskop yang Anti Mainstream

Bosan nonton bioskop hanya di 21 Cineplex melulu? Yah saat ini mayoritas pecinta film memang selalu berkunjung ke teater tersebut kalau ingin nonton film. Tapi nggak ada salahnya kan kalo mencoba hal baru. Itung-itung mencari suasana baru untuk nge-date bareng gebetan, hehe.. Bioskop Mini. Yup memang mini teater ini sudah beberapa tahun lalu eksis. Tapi entah kenapa peminatnya masih kalah dengan teater yang lebih besar. Mungkin kurang promosi kali yaa. Padahal banyak juga pengunjung yang merasa puas setelah nonton di bioskop mini. Tentu karena privasi disini lebih terjaga dibanding bioskop umum. Nah, berikut kami review Bioskop Mini yang tersebar di Jakarta dan Depok:  Subtitle   Berawal dari tempat rental DVD di Menteng, Subtitle berkembang menjadi pionir bioskop mini di Jakarta. Dengan koleksi lebih dari 4000 DVD kamu dapat memilih menonton banyak genre film mulai dari film box office seperi Inception hingga film festival. kamu pun bisa n

Perbedaan Cinemaxx dan Cinema 21

Kali ini  gue mau  share tentang perbedaan antara Cinemaxx dan Cinema 21/XXI. Yang pertama Cinemaxx, Bioskop paling junior ini boleh dibilang tidak main-main. Sebab Cinemaxx merupakan bagian dari Lippo Group. Jadi jangan salah, bioskop yang baru didirikan pada tahun 2014 ini sudah memiliki bioskop yang tersebar hingga di daerah-daerah. Cinemaxx sudah tersebar di kota seperti Ponorogo, hingga ke Baubau, dan Kupang. Kuncinya tentu  saja, dimana ada jaringan Lippo Grup, maka jaringan bioskopnya bukan lagi dari Grup  Cineplex 21 atau CGV, tapi menggunakan brand yang mereka miliki, yaitu Cinemaxx. Di Jakarta sendiri  untuk sementara Cinemaxx hanya tersedia di Plaza Semanggi dan fX Sudirman. Kebetulan gue pernah nonton di fX Sudirman. Jadi ada beberapa studi di Ciemaxx, yaitu Cinemaxx 2D and 3D, Cinemaxx Gold, Cinemaxx Ultra XD dan Cinemaxx  Junior. Kebetulan gue pernah nonton di Reguler 2D. Dan kesan sehabis nonton di Cinemaxx adalah biasa aja. Kenyamanannya mirip-mirip

Pengalaman Nonton 4DX di Blitz Megaplex

Pengalaman ini sebenernya udah lama sih, baru mau Gw share sekarang hihihi Langsung aja Gw ceritain ya :D Waktu itu Gw tiba di Blitz Grand Indonesia, pada pukul 17:20, dan mengingat film dijadwalkan mulai pukul 17:30, Gw pun memutuskan untuk singgah di toilet terlebih dahulu. Sekeluarnya dari toilet, Gw dikejutkan dengan antrian masuk studio yang cukup panjang. Mungkin saja di dalam studio sedang ada diskonan Crocs (wait, sudah gak musim ya?), pikir Gw. Waktu menunjukkan pukul 17:30 lebih beberapa menit ketika Gw tiba di pintu masuk, sementara pacar terus mengingatkan supaya cepat masuk studio karena takut terlewat filmnya. Sebenarnya, kami berencana menonton film The Hobbit ini pada hari sebelumnya, namun ketika pacar tiba satu jam sebelum film dimulai, ternyata tiket di posisi yang nyaman telah habis, sehingga kami memutuskan untuk menonton film ini besoknya. Melihat tiket yang cepat terjual walaupun dijual dengan harga yang tinggi (sepadan dengan tiga kali nonton film regul